Saturday, July 12, 2008

10 AMALAN YANG TERBALIK

Marilah kita bermuhasabah atau menilai dan menghitung kembali tentang amalan harian kita. Kadang-kadang kita akan dapati amalan kita adalah terbalik atau bertentangan dari apa yang patut dilakukan dan dituntut oleh Islam. Mungkin kita tidak sedar atau telah dilalaikan atau terikut-ikut dengan budaya hidup orang lain. Perhatikan apa yang dipaparkan dibawah sebagai contoh amalan yang terbalik:-


1. Amalan kenduri arwah beberapa malam yang dilakukan oleh keluarga simati selepas sesuatu kematian (malam pertama, kedua, ketiga, ketujuh dan seterusnya) adalah terbalik dari apa yang dianjurkan oleh Rasulullah di mana Rasulullah telah menganjurkan jiran tetangga memasak makanan untuk keluarga simati untuk meringankan kesusahan dan kesedihan mereka. Keluarga tersebut telah ditimpa kesedihan, terpaksa pula menyedia makanan dan belanja untuk mereka yang datang membaca tahlil. Tidakkah mereka yang hadir makan kenduri tersebut khuatir kalau-kalau mereka termakan harta anak yatim yang ditinggalkan oleh simati atau harta peninggalan simati yang belum dibahagikan kepada yang berhak menurut Islam?

2. Kalau hadir ke kenduri walimatul urus (kenduri kahwin) orang kerap salam berisi (hadiah wang yang diberi semasa bersalam). Kalau tak ada duit nak dikepit dalam tangan, maka segan ia nak pergi makan kenduri. Tetapi kalau ia menziarah orang mati, tidak segan pula salam tak berisi. Sepatutnya kalau menziarah keluarga si matilah kita patut memberi sedekah. Kalau ke kenduri kahwin, tak bagi pun tak apa kerana tuan rumah panggil untuk diberi makan bukan untuk ia menambah pendapatan.

3. Ketika menghadiri majlis pemimpin negara kita berpakaian cantik, kemas dan segak tetapi bila mengadap Allah baik di rumah maupun di masjid, pakaian lebih kurang saja bahkan ada yang tak berbaju. Tidakkah ini suatu perbuatan yang terbalik.

4. Kalau menjadi tetamu di rumah orang dan di beri jamuan, kita rasa segan nak makan sampai habis apa yang dihidangkan kerana rasa segan dan malu, sedangkan yang dituntut dibanyakkan makan dan dihabiskan apa yang dihidang supaya tuan rumah rasa gembira dan tidak membazir.

5. Kalau bersolat sunat di masjid amat rajin, tapi kalau di rumah, sangat malas. Sedangkan sebaik-baiknya solat sunat banyak dilakukan di rumah seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah untuk mengelakkan rasa riak.

6. Bulan puasa adalah bulan mendidik nafsu termasuk nafsu makan yang berlebihan tetapi kebanyakan orang mengaku bahawa dalam carta perbelanjaan setiap rumah orang Islam akan kita dapati perbelanjaan di bulan puasa adalah yang tertinggi dalam setahun. Sedangkan sepatutnya perbelanjaan di bulan puasa yang terendah. Bukankah terbalik amalan kita?

7. Kalau nak mengerjakan haji, kebanyakan orang akan membuat kenduri sebelum bertolak ke Mekah dan apabila balik dari Mekah tak buat kenduri pun. Anjuran berkenduri dalam Islam antaranya ialah kerana selamat dari bermusafir, maka dibuat kenduri, bukan kerana nak bermusafir, maka dibuat kenduri. Bukankah amalan ini terbalik? Atau kita mempunyai tujuan lain.

8. Semua ibubapa amat bimbang kalau-kalau anak mereka gagal dalam periksa. Maka dihantarlah ke kelas tuisyen walau pun banyak belanjanya. Tapi kalau anak tak boleh baca Quran atau solat, tak bimbang pula bahkan tak mahu hantar tuisyen baca Quran atau kelas khas mempelajari Islam. Kalau guru tuisyen sanggup dibayar sebulan $20.00 satu pelajaran 8 kali hadir tapi kepada Tok Guru Quran nak bayar $15.00 sebulan 20 kali hadir belajar pun menggeletar tangan. Bukankah terbalik amalan kita? Kita sepatutnya lebih berbimbang jika anak tidak dapat baca Al Quran atau bersolat dari tidak lulus periksa.

9. Kalau bekerja mengejar rezeki Allah tak kira siang malam, pagi petang, mesti pergi kerja. Hujan atau ribut tetap diharungi kerana hendak mematuhi peraturan kerja. Tapi ke rumah Allah (masjid) tak hujan, tak panas, tak ribut pun tetap tak datang ke masjid. Sungguh tak malu manusia begini, rezeki Allah diminta tapi nak ke rumahNya segan dan malas.

10. Seorang isteri kalau nak keluar rumah samada dengan suami atau tidak, bukan main lagi berhias. Tetapi kalau duduk di rumah, masyaAllah. Sedangkan yang dituntut seorang isteri itu berhias untuk suaminya, bukan berhias untuk orang lain. Perbuatan amalan yang terbalik ini membuatkan rumah tangga kurang bahagia.

Cukup dengan contoh-contoh di atas. Marilah kita berlapang dada menerima hakikat sebenarnya. Marilah kita beralih kepada kebenaraan agar hidup kita menurut landasan dan ajaran Islam yang sebenar bukan yang digubah mengikut selera kita. Allah yang mencipta kita maka biarlah Allah yang menentukan peraturan hidup kita.

Thursday, July 10, 2008

Kerosakan filem ayat-ayat Cinta...

Iblis berkata, “Ya Rabb-ku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (kemaksiatan) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.
(QS. Al-Hijr: 39).

Di pinggir jalan-jalan raya saat ini, di mana di sana berdiri tempat muda-mudi saling berkumpul sambil memerhatikan banner besar yang terpampang, terbaca tulisan di dalam sebuah gambar “Ayat-ayat Cinta”, Serentak di pawagam seluruh Indonesia mulai…..

Ku saksikan mereka berpegangan erat penuh cinta sambil seorang gadis menunjukkkan jarinya ke arah gambar tersebut. Mungkin, ia sedang meminta kepada kekasihnya untuk menyaksikannya. Dan kusaksikan di antara mereka, ada yang mengenakan “jilbab” @ tudung dan juga bersama kekasihnya. Tidakkah mereka memikirkan kelak, Allah sang pemilik cinta yang bersemi di antara mereka, akan meminta pertanggungjawaban atas cinta yang mereka semaikan di antara mereka?

Teringat akan penulis yang dahulu sempat membaca novelnya. Saat pertama kali selesai membaca, terlintas kekaguman di dalam hati. “Subhanallah, tidak pernah saya membaca novel sebagus ini!”.

Saat ini, ketika semua saat-saat seperti itu sudah berlalu, hanya bisa ku menyesali. Menertawakan diri yang begitu dangkal menilai. Menilainya hanya berdasarkan perasaan peribadi. Sementara yang dinilai, dikaitkan dengan agama ini. Islam yang sangat kucintai. Padahal, tidaklah dikatakan sesuatu melainkan dengan apa sesuatu itu diartikan. Islam hanyalah ada pada Al Qur’an dan pada apa-apa yang disampaikan oleh Rasululloh -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Pernah beberapa kali melihat tanggapan-tanggapan dari para peminat filem di beberapa site yang menyebarkan info penayangan filem tersebut, baik peninat filem secara umum, maupun yang bermotif “Islamiy”. Bahkan mungkin, ada di antara mereka yang sebelumnya tidak pernah datang ke pawagam-pawagam, dan mulai akan berencana membeli tiket untuk mengisi ruangan berlayar lebar tersebut yang dirasakan begitu sejuk duduk di dalamnya. Tidak!, padahal mereka sedang mengisi untuk membeli tiket ke neraka. Yang tidaklah dingin dan sejuk, namun panas lagi membakar.

Mari kita berfikir saudaraku semuanya!

Ada banyak madharat di sana, yang akan engkau jumpai -jika engkau belum pernah ke sana-. Dan bagi kalian yang pernah ke sana, cuba renungi dengan hati penuh keimanan beberapa keburukan yang akan sering engkau dapatkan. Dan jangan pernah lagi mengulanginya. Cukuplah seorang yang beriman jatuh di lubang yang pertama dan berusaha menghindari terjatuh di lubang yang sama.

–>>> Dari segi film Ayat-Ayat Cinta:

1. Boleh jadi, film “islamiy” tersebut akan menjadi promosi bagi dirimu sendiri untuk mulai mendatangi pawagam di kesempatan berikutnya. Padahal, kamu belum pernah mendatangi pawagam sebelumnya.

2. Adakah dia dikatakan filem “islamiy”, padahal di dalamnya pemerannya bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya?

3. Apakah engkau akan menjadikan mereka -para artis- sebagai teladan?

4. Bahkan, si pembuat filemnya “Hanung Bramantyo”, adalah orang yang senang dengan orang-orang yang suka beromong kosong tentang Tuhan. Apakah engkau akan mendukung orang-orang seperti dia?

5. Bahkan, di sana ditampilkan gambar-gambar. Padahal, Allah melarangnya.

6. Yang dengan gambar-gambar itu, engkau melihat aurat orang lain.

7. Masih banyak lagi keburukan lainnya, yang jika engkau menelitinya akan engkau dapatkan bahwa tidak ada sisi Islamnya di sana.

—>>> Dari segi tempatnya, pawagam:

1. Bercampur baurnya antara laki-laki dan perempuan.

Allah Azza wa Jalla- berfirman, “Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari balik tabir. Cara demikian itu lebih baik bagi hatimu dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)

2. Akan engkau lihat di antara mereka banyak yang menggunakan pakaian yang jika engkau melihatnya, engkau berdosa dan tidak akan engkau dapatkan kekhusyukan ibadahmu.

Allah Azza wa Jalla- berfirman, “Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, “Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya. Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami
mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendakla
h kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung.” (An-Nuur: 30-31).

3. Membuang masa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

Demi masa! Sesungguhnya manusia berada pada kerugian. Kecuali, orang-orang yang beriman dan beramal sholih…..” (Al-Ashr)

4. Meninggalkan waktu solat.

5. Menjauhkan hati dari mengingat Allah.

6. Jelaslah, tidak ada gunanya!. Haram! Insya Allah akan masuk neraka bagi orang-orang yang mendatanginya!.

7. Jika sudah begitu, apakah masih rela membelanjakan wangmu untuk hal-hal yang demikian?

Dari al-Mughirah bin Syu’bah bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mengharamkan kamu durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, enggan memberi miliknya tetapi meminta-minta milik orang lain, dan dilarang atas kamu tiga perkara, yaitu berbohong dalam cerita, banyak bertanya, dan membazir harta.” (HR. Bukhari).

—->>>Solusi:

1. Sibukkan diri dengan mempelajari ilmu.

2. Duduklah bersama orang-orang yang selalu menjaga agamanya.

3. Berpikirlah berdasarkan agamamu, bukan hanya berdasarkan perasaan.

4. Berpikirlah, bagaimana jika ketetapan (mati) Allah menjemputmu dan mati kita di dalam tempat yang penuh maksiat tersebut?.

5. Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!.

Wallahu a’lam!

Link terkait:
Film Ayat-ayat Cinta -Tidak Lebih Berbahaya Dari Film Maksiat-
Film Ayat-ayat Cinta -sebuah bahan renungan-
Kepada yang tersakiti hatinya

Bagaimana Mendakwahi Masyarakat Awam agar Mengikuti Manhaj Salaf

Pertanyaan:
Bagaimana mendakwahi masyarakat awam agar mengikuti salafiyah, manhaj salaf (berislam dengan pemahaman salafus shalih [generasi awal Islam yang shalih] –pent), terutama apabila mereka sebelumnya telah terpengaruh dengan dakwah yang menyimpang?

Jawaban:
Allah telah memberikan kita metode dakwah. Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

Oleh karena itu kita berdakwah (mengajak) kepada Allah dengan penuh hikmah. Dengan hikmah, maksudnya adalah dengan ilmu, al-bayan (penjelasan), dan hujjah (dalil). Maka hendaknya engkau berdakwah dengan ilmu, akhlak yang baik, serta dengan rifq dan liin [1]. Ini baik kepada orang-orang awam maupun kepada selain orang awam, akan tetapi orang awam akan lebih mudah menerima dakwah. Dan bisa jadi orang awam tersebut menerima kebenaran tanpa perlu adanya perdebatan. Dan kalau pun pada dirinya terdapat sikap keras kepala atau pengaruh dari pemahaman yang batil, maka bantahlah dia dengan jalan yang baik.

Allah berfirman,

وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (*) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (Fushsilat: 34-35).

Dan sikap hikmah ini tidaklah dianugerahkan oleh Allah, melainkan hanya kepada orang-orang yang memiliki keberuntungan yang besar.(*)

Catatan Kaki:
[1] Liin dan rifq secara bahasa artinya sama yaitu lawan dari sikap kasar. Makna keduanya secara syar’i pun hampir sama, yaitu adalah lawan dari kekasaran dan mengandung sikap lemah lembut terhadap orang yang ada di sisinya dengan kelembutan ucapan dan perbuatan, serta mengambil perkara yang paling mudah. Tapi keduanya tidaklah mengandung makna berbasa-basi atau bertoleransi terhadap kemaksiatan dan kefasikan. Lihat Al-Liin war Rifq karya DR. Fadhl Ilahi –pent.

Diterjemahkan dari: http://rabee.net/show_fatwa.aspx?id=172 oleh Abu Umar Al-Bankawy. Silakan dicopy dengan mencantumkan URL:http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/05/bagaimana-mendakwahi-masyarakat-awam-agar-mengikuti-manhaj-salaf/

10 Wasiat Untuk Isteri

Istri memegang peranan yang sangat penting dalam istana keluarganya. Maka ia dituntut untuk memahami peranan tersebut lalu mengaplikasikannya dalam kehidupan berkeluarga. Berikut ada beberapa wasiat untuk mereka yang berhasrat menjadi istri yang mendambakan keluarga bahagia. Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin.

1.Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat
Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah. Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncang kerajaan. Oleh karena itu jangan engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah. Wahai hamba Allah……..jagalah Allah maka Dia akan menjagamu beserta keluarga dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan menceraiberaikan keutuhannya. Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata:”Aku mohon ampun kepada Allah….itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku)….”Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:
-Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar.
-Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya dan sum’ah.
-Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang briman janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang menolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan”(QS. Al Hujurat: 11).
-Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Rasulullah bersabda:”Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya”(HR. Muslim).
-Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pambantu dan pendidik-pendidik yang kafir.
-Meniru wanita-wanita kafir. Rasulullah bersabda:”Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka”(HR. Imam Ahmad dan Abu Daud serta dishahihkan Al-Albany).
-Membiarkan suami dalam kemaksiatannya. -Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah).
-Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan yang mendesak.

2.Berupaya mengenal dan memahami suami
Hendaknya engkau berupaya memahami suamimu. Apa –apa yang ia sukai, berusahalah memenuhinya dan apa-apa yang ia benci, berupayalah untuk menjauhinya dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khalik (Allah ‘Azza Wajalla).

3. Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik.
Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah bersabda:”Seandainya aku boleh memerintahkanku seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya”(HR. Imam Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albany). Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Rasulullah bersabda:”Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali”(HR. Thabrani dan Hakim, dishahihkan oleh Al-Albany). Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu. Dengan ketaatanmu pada suami dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjdai sebaik-baik wanita (dengan izin Allah).

4.Bersikap qanaah (merasa cukup)
Kami meninginkan wanita muslimah ridha dengan apa yang diberikan untuknya baik itu sedikit ataupun banyak. Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Renungkanlah wahai saudariku muslimah, adabnya wanita salaf radhiallahu ‘anhunna…Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat kepadanya. Apakah itu??? Ia berkata pada suaminya:”Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa bersabar dari api neraka…”

5. Baik dalam mengatur urusan rumah tangga
Seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya. Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.

6.Baik dalam bergaul dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya Khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya. Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.

7.Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya.
Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu, maka sertailah ia dalam duka cita dan kesedihannya. Renungkanlah wahai saudariku kedudukan Ummul Mukminin, Khadijah radhiallahu ‘anha, dalam hati Rasulullah walaupun ia telah meninggal dunia.. Kecintaan beliau kepada Khadijah tetap bersemi sepanjang hidup beliau, kenangan bersama Khadijah tidak terkikis oleh panjangnya masa. Bahkan terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyur sehingga menjadikan Rasulullah merasakan ketenangan setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali pertama:” Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menaggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran”.(HR. Mutafaq alaihi, Bukhary dan Muslim).

8.Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaannya.
Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat kau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu di hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hak-hakmu dengan membandingkan lautan keutamaan dan kebaikannya kepadamu.

9.Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).
Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya. Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapapun, maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi. Saudariku, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’I seperti mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti atau orang yang engkau harapkan nasehatnya.

10.Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari kesalahan.
Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya. Padahal Rasulullah telah melarang hal itu dalam sabdanya:”Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya”(HR. Bukhary dalam An-Nikah).

Adapted from : Rumah tangga tanpa problema, Syaikh Mazin Bin Abdul Karim Al- Farih. “Untuk para istri yang berhasrat menjadi penyejuk hati dan mata suaminya.
Semoga Allah memeliharamu dalam naungan kasih sayang dan rahmatNya. Amin.”

Fatwa Ulama tentang ‘Nasyid Islami’

Bagi kalangan aktivis pergerakan Islam, nasyid menjadi alternatif dari “cara bermusik”. Mereka berkukuh bahwa selama tidak mengandung hal-hal yang dilarang dalam syariat, hal itu diperbolehkan bahkan bisa menjadi sarana “dakwah”. Mereka seakan lupa, nasyid mereka hampir tak ada bedanya dengan lagu kecuali pada syair. Syairnya pun -meski kadang berbahasa Arab- bahkan kerap mengandung kesyirikan dan kebid’ahan.

Belakangan, berkembang di kalangan muslimin satu jenis hiburan yang dikenal dengan nasyid Islami. Nasyid ini dianggap sebagai alternatif pengganti lagu dan musik yang didendangkan oleh para penyanyi umumnya. Masing-masing dari kelompok nasyid tersebut menggunakan bermacam variasi dalam menampilkan nasyidnya. Ada yang disertai rebana saja, yang kadang disertai dengan tepukan tangan atau alat-alat tertentu, lalu dinyanyikan oleh orang yang bersuara merdu atau secara berkelompok. Ada pula yang meluas, dengan menggunakan semua alat musik yang digunakan oleh para pelantun lagu-lagu yang tidak senonoh. Bahkan ada yang tidak berbeda antara lagu-lagu tersebut dengan apa yang dinamakan nasyid Islami kecuali syairnya saja. Adapun irama, musik dan lantunannya, tidak ada perbedaan.

Bila merunut sejarah, kita tidak mengetahui dalam sejarah kaum muslimin cara berdakwah menggunakan sarana-sarana seperti ini, kecuali dari kelompok Shufiyyah (Sufi) yang dikenal gemar membuat bid’ah dan menganggap baik hal-hal yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya g. Sehingga sebagian ulama menghukumi mereka dengan zindiq.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Aku meninggalkan Irak, dengan munculnya sesuatu yang disebut at-taghbir yang dibuat oleh kaum zindiq. Mereka memalingkan manusia dari Al-Qur`an.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf hal. 36, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 9/146. Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih. Ibnul Qayyim rahimahullahu menyebutkan dalam Ighatsatul Lahafan (1/229), bahwa penukilan dari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu adalah mutawatir.” Lihat At-Tahrim hal. 163)

Al-Imam Ahmad rahimahullahu ditanya tentangnya. Beliau menjawab: “Itu adalah bid’ah.” Lalu beliau ditanya: “Bolehkah kami duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)

Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Hal itu (ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullahu) tidak mengherankan bagiku.” (Al-Inshaf, Al-Mardawi, 8/343)

At-Taghbir adalah bait-bait syair yang mengajak bersikap zuhud terhadap dunia, dilantunkan oleh seorang penyanyi. Sebagian yang hadir kemudian memukulkan potongan ranting di atas hamparan tikar atau bantal, disesuaikan dengan lantunan lagunya itu.

Dari sini, nampaklah bahwa apa yang diistilahkan dengan nasyid Islami tidak lain adalah bid’ah yang telah dimunculkan oleh kaum Shufiyah, lalu diberi polesan ‘Islami’ agar diterima oleh masyarakat yang tidak mengerti hakikat bid’ah ini. Seperti halnya kebatilan-kebatilan lain yang disandarkan kepada Islam, musik Islami, pacaran Islami, demokrasi Islami, demonstrasi Islami, atau embel-embel Islami yang lainnya. Namun, alhamdulillah, syariat yang mulia ini telah mengajari kita untuk tidak memandang sesuatu hanya sekadar melihat namanya. Yang terpenting adalah hakikat dari apa yang terkandung di balik nama tersebut.

Maka, sebagai nasihat bagi kaum muslimin, kami sebutkan beberapa fatwa para ulama seputar hukum perkara yang disebut dengan nasyid Islami ini.

Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Syaikhul Islam ditanya tentang sekelompok orang yang bergabung untuk melakukan berbagai dosa besar seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, minum khamr, dan yang lainnya. Kemudian salah seorang di antara Syaikh yang dikenal memiliki kebaikan dan mengikuti As-Sunnah ingin mencegah mereka dari hal tersebut. Namun tidak memungkinkan baginya melakukan hal itu kecuali dengan cara membuat sebuah sama’ (nasyid) untuk mereka, di mana mereka berkumpul padanya dengan niat ini. Sama’ ini menggunakan rebana tanpa alat gemerincing, dan nyanyian seorang penyanyi dengan syair-syair yang diperbolehkan tanpa menggunakan seruling.

Tatkala dilakukan cara ini, di antara kelompok tersebut ada yang bertaubat. Dan orang yang sebelumnya tidak shalat, suka mencuri dan tidak berzakat, menjadi berhati-hati dari syubhat dan mengerjakan kewajiban, serta menjauhi perkara yang diharamkan. Maka apakah dibolehkan nasyid yang dibuat Syaikh ini dengan cara tersebut, karena memberi dampak kemaslahatan? Dalam keadaan tidak memungkinkan mendakwahi mereka kecuali dengan cara ini.

Beliau rahimahullahu menjawab dengan panjang lebar. Di antara yang beliau katakan:

“Sesungguhnya Syaikh tersebut ingin membuat kelompok yang hendak melakukan berbagai dosa besar itu bertaubat. Namun tidak memungkinkan baginya hal itu kecuali dengan cara yang disebutkan, berupa metode yang bid’ah. Ini menunjukkan bahwa Syaikh tersebut jahil (tidak tahu) tentang metode-metode syar’i yang menyebabkan para pelaku maksiat bertaubat, atau tidak mampu melakukannya. Karena sesungguhnya Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in, mendakwahi orang yang lebih buruk dari mereka yang disebutkan ini, dari kalangan orang-orang kafir, fasiq dan pelaku maksiat, dengan cara-cara yang syar’i. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berikan kecukupan kepada mereka dengan cara itu dari berbagai cara-cara bid’ah.

Tidak boleh dikatakan bahwa tidak ada cara syar’i yang Allah Subhanahu wa Ta’ala utus Nabi-Nya dengannya, yang dapat menjadikan para pelaku maksiat bertaubat. Sebab telah diketahui secara pasti dan penukilan yang mutawatir bahwa orang-orang, yang tidak ada yang mampu menghitung jumlahnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, telah bertaubat dari kekafiran, kefasikan, kemaksiatan. Tidak disebutkan padanya berkumpul dengan cara bid’ah sebagaimana yang dilakukan. Bahkan, orang-orang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan kebaikan -dan mereka adalah para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bertakwa dari kalangan umat ini- telah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara-cara yang syar’i.” (Majmu’ Fatawa, 11/624-625)

Fatwa Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 181), setelah beliau menyebutkan hukum nyanyian dan musik, beliau berkata:

“Masih tersisa bagiku kalimat terakhir, yang dengannya aku menutup risalah yang bermanfaat ini -insya Allah Subhanahu wa Ta’ala-. Yaitu seputar apa yang mereka sebut dengan istilah nasyid Islami atau nasyid agamis.

Maka aku mengatakan: Telah jelas pada pasal ketujuh tentang syair-syair yang boleh didendangkan dan yang tidak diperbolehkan. Sebagaimana pula telah jelas sebelumnya tentang haramnya seluruh alat musik, kecuali duf (rebana/gendang yang terbuka bagian bawahnya) pada hari raya dan pesta pernikahan, untuk para wanita. Dari pasal terakhir ini, kami jelaskan bahwa tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan apa yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apalagi mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang diharamkan! Karena itulah, para ulama mengharamkan nyanyian kaum Shufiyyah. Dan pengingkaran mereka sangat keras terhadap orang-orang yang menganggapnya halal. Apabila seorang pembaca menghadirkan dalam benaknya prinsip-prinsip yang kokoh ini, akan jelas baginya dengan sejelas-jelasnya, bahwa tidak ada perbedaan dari sisi hukum antara nyanyian kaum Shufi dengan nasyid Islami.

Bahkan pada nasyid Islami terdapat hal negatif lainnya. Yaitu terkadang nasyid tersebut didendangkan seperti lantunan nyanyian-nyanyian yang tidak punya rasa malu. Dan nasyid itu dibuat dengan merujuk gaya musik ala timur ataupun ala barat, yang membuat girang para pendengarnya, membuat mereka berjoget, serta membenamkan alam sadar mereka. Sehingga, yang menjadi tujuan utamanya adalah lantunan dan kegembiraan, bukan hanya sekadar nasyid. Ini adalah bentuk penyelisihan baru, yaitu tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak punya rasa malu. Muncul pula anak penyimpangan lainnya, yaitu tasyabbuh dengan mereka dalam hal berpaling dari Al-Qur`an dan meninggalkannya. Sehingga mereka termasuk dalam keumuman sesuatu yang dikeluhkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kaumnya, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya:

وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini suatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)

Sesungguhnya aku benar-benar mengingat bahwa tatkala aku berada di Damaskus -dua tahun sebelum aku berhijrah ke sini (Amman)- sebagian pemuda muslim mulai bernyanyi dengan nasyid yang maknanya masih selamat (dari penyimpangan), dengan tujuan menyaingi nyanyian kaum Shufiyyah, seperti qashidah Al-Bushiri dan yang lainnya. Nasyid tersebut terekam di kaset.

Tidak berapa lama kemudian, nasyid tersebut sudah dibarengi pukulan rebana! Mulanya, mereka menggunakannya pada acara-acara pesta pernikahan, dengan alasan bahwa menggunakan rebana pada acara tersebut boleh. Kemudian kaset tersebut menyebar dan dikopi menjadi beberapa kaset salinan. Tersebarlah penggunaannya di sekian banyak rumah. Merekapun menyimaknya siang malam, baik dalam sebuah acara tertentu ataupun tidak. Dan hal tersebut menjadi hiburan mereka!

Keadaan ini tidak terjadi melainkan karena hawa nafsu yang mendominasi dan kebodohan terhadap tipu daya setan. Sehingga hal itu memalingkan mereka dari perhatian terhadap Al-Qur`an dan mendengarnya, apalagi mempelajarinya. Al-Qur`an pun menjadi sesuatu yang ditinggalkan, sebagaimana yang disebut dalam ayat yang mulia tersebut. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata dalam tafsirnya (3/317): “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengabarkan tentang Rasul dan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia berkata:

وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

“Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini sesuatu yang tidak diacuhkan.” (Al-Furqan: 30)

Hal itu karena orang-orang musyrik tidak mau mendengar Al-Qur`an dan menyimaknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لاَ تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ

“Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar Al-Qur`an ini dengan sungguh-sungguh dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)’.” (Fushshilat: 26)

Adalah jika dibacakan Al-Qur`an kepada mereka, mereka gaduh dan memperbanyak percakapan pada perkara yang lain, sehingga mereka tidak mendengarnya. Hal ini termasuk meninggalkannya. Tidak beriman dengannya dan tidak membenarkannya termasuk mengabaikan Al-Qur`an. Tidak mentadabburi dan memahaminya termasuk mengabaikannya. Tidak beramal dengannya, tidak melaksanakan perintahnya dan tidak menjauhi larangannya termasuk mengabaikannya. Berpaling darinya menuju kepada selainnya berupa syair, perkataan, nyanyian, atau yang melalaikan, atau sebuah ucapan atau satu metode yang diambil dari selainnya, termasuk mengabaikannya. Kami memohon kepada Allah Yang Maha Mulia, Yang Maha Pemberi Anugerah, Maha Kuasa atas segala apa yang Dia inginkan, agar menghindarkan kita dari kemurkaan-Nya, dan mengantarkan kita menuju apa yang diridhai-Nya berupa menghafal kitab-Nya dan memahaminya, serta melaksanakan kandungannya, baik di malam maupun siang hari, dengan cara yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mulia dan Maha Pemberi.” (Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 181-182)

Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu

Beliau rahimahullahu ditanya: “Saya pernah mendengar sebagian nasyid Islami dan di dalamnya terdapat lantunan-lantunan yang menyerupai nyanyian. Tanpa musik, namun disertai suara yang indah. Bagaimanakah hukumnya? Sebagai pengetahuan, ada sebagian ikhwan yang tidak senang dengannya dan mengatakan bahwa hal itu termasuk amalan kaum Shufiyyah. Aku berharap dari Syaikh yang mulia untuk memberi jawaban.”

Beliau menjawab setelah mengucapkan hamdalah dan shalawat kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Nasyid-nasyid yang ditanyakan oleh penanya ini, yang dinamakan dengan nasyid Islami, di dalamnya terdapat sebagian perkara yang terlarang. Di antaranya, nasyid tersebut dilantunkan seperti nyanyian para biduan, yang bernyanyi dengan nyanyian-nyanyian tidak senonoh. Kemudian, nasyid itu dilantunkan dengan suara yang indah dan merdu. Bahkan terkadang dibarengi dengan tepuk tangan, atau memukul piring dan yang semisalnya.

Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu tidak ada tepuk tangan dan pukulan piring atau yang semisalnya, dan si penanya berkata bahwa ia dilantunkan seperti nyanyian yang tidak senonoh, dengan suara yang indah dan merdu. Maka, kami berpandangan agar nasyid seperti ini tidak didengarkan, karena dapat menimbulkan fitnah dan menyerupai lantunan nyanyian para biduan yang tidak punya rasa malu.

Tentunya, yang lebih baik dari itu ialah mendengarkan nasihat-nasihat yang bermanfaat, yang diambil dari Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta perkataan para sahabat dan para imam dari kalangan ahli ilmu dan agama. Karena, di dalamnya sudah terdapat kecukupan dan kepuasan dari yang lainnya.

Jika seseorang terbiasa tidak mengambil sesuatu sebagai nasihat kecuali dengan cara tertentu, seperti lantunan nyanyian, hal itu akan menyebabkan dia tidak dapat mengambil manfaat dengan nasihat-nasihat yang lain. Sebab jiwanya telah terbiasa mengambil nasihat hanya dengan cara ini. Hal ini sangat berbahaya, bahkan dapat menyebabkan seseorang bersikap zuhud (tidak butuh) terhadap nasihat Al-Qur`an yang mulia dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta perkataan para ulama dan imam.” (diterjemahkan dari kaset Nur ‘Alad Darb, kaset no. 258, bagian kedua)

Fatwa Al-’Allamah Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri

“Sesungguhnya, sebagian nasyid yang banyak dilantunkan para pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim panas, yang mereka namakan dengan nasyid-nasyid Islami, bukanlah dari Islam. Sebab, hal itu telah dicampuri dengan nyanyian, melodi, dan membuat girang yang membangkitkan (gairah) para pelantun nasyid dan pendengarnya. Juga mendorong mereka untuk bergoyang serta memalingkan mereka dari dzikrullah, bacaan Al-Qur`an, mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat apa-apa yang disebut di dalamnya berupa janji, ancaman, berita para nabi dan umat-umat mereka, serta hal-hal lain yang bermanfaat bagi orang yang mentadabburinya dengan sebenar-benar tadabbur, mengamalkan kandungannya, dan menjauhi larangan-larangan yang disebutkan di dalamnya, dengan mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari ilmu dan amalannya.” (Iqamatud Dalil ‘Alal Man’i Minal Anasyid Al-Mulahhanah wat Tamtsil hal. 6, dari situs sahab.net)

“Barangsiapa mengqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan lantunan nyanyian, dengan syair-syair para sahabat radhiyallahu ‘anhum tatkala mereka membangun Masjid Nabawi, menggali parit Khandaq, atau mengqiyaskan dengan syair perjalanan yang biasa diucapkan para sahabat untuk memberi semangat kepada untanya di waktu safar, maka ini adalah qiyas yang batil. Sebab para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah bernyanyi dengan syair-syair tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan yang membuat girang, yang membangkitkan para pelantun nasyid dan pendengarnya, seperti yang dilakukan oleh sebagian pelajar di berbagai acara dan tempat pada musim panas. Namun para sahabat g hanya mencukupkan melantunkan syair-syair tersebut dengan mengangkat suara. Tidak disebutkan bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan satu suara, seperti yang dilakukan para pelajar di zaman kita.

Kebaikan yang hakiki adalah mengikuti apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallâhu ‘anhum. Kejahatan yang sesungguhnya adalah dengan menyelisihi mereka, lalu mengambil perkara-perkara baru yang bukan dari bimbingan mereka, serta tidak dikenal pada zaman mereka.

Semua itu berasal dari bid’ah kaum Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan serta hal yang melalaikan. Telah diriwayatkan tentang bahwa mereka berkumpul untuk melantunkan nasyid dengan irama secara berlebih-lebihan serta melampaui batas dalam menjunjung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkumpul untuk melakukan hal itu dan menamakannya dengan dzikir, padahal pada hakikatnya merupakan olok-olokan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dzikir-Nya. Dan siapapun yang menjadikan kaum Shufi yang sesat sebagai pendahulu dan panutan, maka itu adalah seburuk-buruk teladan yang telah mereka pilih untuk diri-diri mereka.” (ibid, hal. 7-8)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya, penamaan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan nyanyian sebagai nasyid Islami, menyebabkan timbulnya perkara-perkara jelek dan berbahaya. Di antaranya:

1. Menjadikan bid’ah ini sebagai bagian ajaran Islam dan penyempurnanya. Ini mengandung unsur penambahan terhadap syariat Islam, sekaligus pernyataan bahwa syariat Islam belum sempurna di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)

Ayat yang mulia ini merupakan nash yang menunjukkan kesempurnaan agama Islam bagi umat ini. Sehingga, pernyataan bahwa nasyid yang berlirik (lagu) tersebut sebagai Islami, mengandung unsur penentangan terhadap nash ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari ajaran Islam kepada Islam dan menjadikannya sebagai bagian darinya.

2. Menisbahkan kekurangan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan dan menjelaskan kepada umatnya. Di mana beliau tidak menganjurkan mereka melantunkan nasyid secara berjamaah dengan lirik lagu. Tidak pula beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada mereka bahwa itu adalah nasyid Islami.

3. Menisbahkan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallâhu ‘anhum bahwa mereka telah menelantarkan salah satu perkara Islam dan tidak mengamalkannya.

4. Menganggap baik bid’ah nasyid yang dilantunkan dengan irama nyanyian, dan memasukkannya sebagai perkara Islam. Telah disebutkan oleh Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Habib dari Ibnul Majisyun, dia berkata: “Aku mendengar Malik (bin Anas) berkata: ‘Barangsiapa berbuat bid’ah di dalam Islam dan ia menganggapnya baik, maka sungguh dia telah menganggap bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Al-Ma`idah: 3)

Maka, apa yang pada masa itu tidak menjadi agama, maka pada hari inipun tidak menjadi agama.” (ibid, hal. 11)

Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan menyebutkan dalam kitabnya Al-Khuthab Al-Minbariyyah (3/184-185):

“Di antara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang banyak beredar di antara para pemuda yang semangat menjalankan agama, berupa kaset-kaset yang terekam padanya nasyid-nasyid, dengan suara berjamaah, yang mereka namakan nasyid Islami. Ini adalah salah satu jenis nyanyian. Terkadang disertai suara yang menimbulkan fitnah, dan dijual di beberapa toko/studio bersama dengan kaset rekaman Al-Qur`an Al-Karim serta ceramah-ceramah agama.

Penamaan nasyid-nasyid ini dengan nasyid Islami adalah pemberian nama yang keliru. Sebab Islam tidak pernah mensyariatkan nasyid kepada kita. Islam hanya mensyariatkan kepada kita berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, membaca Al-Qur`an, dan mempelajari ilmu yang bermanfaat. Adapun nasyid-nasyid tersebut, hal itu berasal dari agama kelompok bid’ah Shufiyyah, yang menjadikan agama mereka sebagai permainan dan hal yang melalaikan. Menjadikan nasyid sebagai agama adalah menyerupai kaum Nasrani, yang menjadikan bernyanyi secara berjamaah dan lantunan yang membuat orang bergoyang sebagai agama mereka.

Tindakan yang wajib adalah berhati-hati dari nasyid-nasyid ini, dan melarang penjualan serta peredarannya, untuk mencegah akibat buruk yang ditimbulkannya, berupa fitnah dan semangat yang tidak terkontrol, serta mengadu domba di kalangan kaum muslimin.” (As`ilah ‘an Al-Manahij Al-Jadidah, Jamal bin Furaihan Al-Haritsi, hal. 20-21)

Perbedaan ‘Nasyid Islami’ dengan Dendangan Syair para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

 Mereka mendendangkan syair-syair mereka pada waktu tertentu, seperti ketika safar (yang disebut dengan hida’), dengan tujuan mengusir rasa kantuk. Atau tatkala melakukan satu pekerjaan yang cukup berat, seperti membangun rumah, parit, dan yang semisalnya (yang disebut rajz). Sedangkan nasyid Islami menjadi hiburan di setiap waktu, dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul dan tidak punya rasa malu. Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullahu berkata:

إِنِّي لَأَبْغَضُ الْغِنَاءَ وَأُحِبُّ الرَّجْزَ

“Sesungguhnya aku membenci nyanyian dan menyukai rajz.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 11/19743. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 279)

 Syair-syair yang mereka lantunkan tersebut diistilahkan dengan nasyid kaum Arab, bukan nasyid Islami.

 Tujuan mereka melantunkan bait-bait syair tersebut adalah untuk meringankan beban yang sedang mereka alami, dari keletihan di waktu safar atau bekerja keras. Sedangkan nasyid Islami dibuat dengan tujuan sebagai ‘sarana dakwah’. Agar orang yang mendengarnya menjadi sadar dari perbuatan maksiat yang dia lakukan, sebagaimana fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu yang telah lalu. Atau dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul.

 Lantunan syair mereka tidak mendorong untuk bergoyang dan melenggak-lenggokkan badan, berbeda dengan yang disebut nasyid Islami.

 Lantunan syair-syair mereka tidak diiringi alat musik. Sedangkan apa yang disebut nasyid Islami, mayoritasnya disertai dengan alat musik.

 Lantunan syair mereka tidak disertai dengan notasi (do-re-mi) seperti halnya nyanyian. Berbeda dengan yang disebut nasyid Islami yang menggunakan notasi nyanyian, dengan lirik yang sama seperti nyanyian secara umum. Bahkan di antara nasyid tersebut ada yang tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan lagu-lagu cabul, kecuali gubahannya saja. Adapun lirik dan lantunannya sama persis, tidak berbeda.

 Mereka melantunkan syair-syair tersebut secara individu, bukan berjamaah. Tidak seperti yang mereka namakan nasyid Islami. (Lihat kitabal Bayan li Akhtha` Ba’dhil Kuttab, Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 341, kitab At-Tahrim, Al-Albani hal. 101)

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengenal al-haq dan mengikutinya, dan memperlihatkan kepada kita kebatilan agar kita dapat menjauhkan diri darinya.

Wallahu a’lam bish-shawab.